...Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Minggu, 13 November 2011

INDAHNYA PERNIKAHAN


بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين, والصلاة والسلام على أشرف المرسلين. أما بعد :

A.       PENGERTIAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Pernikahan merupakan ikatan diantara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir (mental), pendidikan dan lain hal.
Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat.
Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat “ijab dan qabul”. Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh.
Aqad nikah bukan hanya perjanjian antara dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian antara makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah dengan mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan Allah SWT, “Yadullahi fawqa aydihim”.
Begitu sakralnya aqad nikah, sehingga Allah menyebutnya “Mitsaqon gholizho” atau perjanjian Allah yang berat. Juga seperti perjanjian Allah dengan Bani Israil dan juga Perjanjian Allah dengan para Nabi adalah perjanjian yang berat (Q.S Al-Ahzab : 7), Allah juga menyebutkan aqad nikah antara dua orang anak manusia sebagai “Mitsaqon gholizho”. Karena janganlah pasangan suami istri dengan begitu mudahnya mengucapkan kata cerai.
Allah SWT menegur suami-suami yang melanggar perjanjian, berbuat dzalim dan merampas hak istrinya dengan firmannya : “Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali padahal kalian sudah berhubungan satu sama lain sebagai suami istri. Dan para istri kalian sudah melakukan dengan kalian perjanjian yang berat “Mitsaqon gholizho”.” (Q.S An-Nisaa’ : 21).
B.     HUKUM PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Hukum Pernikahan dalam Islam
Dalam pembahasan ini kita akan berbicara tentang hukum menikah dalam pandangan syariah. Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, menemukan bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah, terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan. Semua akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi, mari kita bedah satu persatu.

1. Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :
Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. (QS.An-Nur : 33)

2. Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi 7/78)
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.

3. Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya.
Seperti orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan seseorng akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.

4. Pernikahan Yang Makruh Hukumnya
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.
Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.

5. Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.
Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.

C.      HIKMAH NIKAH
Anjuran telah banyak disinggung oleh Allah dalam al-Quran dan Nabi lewat perkataan dan perbuatannya. Hikmah yang terserak di balik anjuran tersebut bertebaran mewarnai perjalanan hidup manusia.
Secara sederhana, setidaknya ada 5 (lima) hikmah di balik perintah menikah dalam Islam.

Pertama, sebagai wadah birahi manusia
Allah ciptakan manusia dengan menyisipkan hawa nafsu dalam dirinya. Ada kalanya nafsu bereaksi positif dan ada kalanya negatif.
Manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsu birahi dan menempatakannya sesuai wadah yang telah ditentukan, akan sangat mudah terjebak pada ajang baku syahwat terlarang. Pintu pernikahan adalah sarana yang tepat nan jitu dalam mewadahi ‘aspirasi’ nulari normal seorang anak keturunan Adam.

Kedua, meneguhkan akhlak terpuji
Dengan menikah, dua anak manusia yang berlawanan jenis tengah berusaha dan selalu berupaya membentengi serta menjaga harkat dan martabatnya sebagai hamba Allah yang baik.
Akhlak dalam Islam sangatlah penting. Lenyapnya akhlak dari diri seseorang merupakan lonceng kebinasaan, bukan saja bagi dirinya bahkan bagi suatu bangsa. Kenyataan yang ada selama ini menujukkkan gejala tidak baik, ditandai merosotnya moral sebagian kawula muda dalam pergaulan.
Jauh sebelumnya, Nabi telah memberikan suntikan motivasi kepada para pemuda untuk menikah, “Wahai para pemuda, barangsiapa sudah memiliki kemampuan untuk menafkahi, maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat meredam keliaran pandangan, pemelihara kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa, sebab puasa adalah sebaik-baik benteng diri.” (HR. Bukhari-Muslim)

Ketiga, membangun rumah tangga islami
Slogan “sakinah, mawaddah, wa rahmah” tidak akan menjadi kenyataan jika tanpa dilalui proses menikah. Tidak ada kisah menawan dari insan-insan terdahulu maupun sekarang hingga mereka sukses mendidik putra-putri dan keturunan bila tanpa menikah yang diteruskan dengan membangun biduk rumah tangga islami.
Layaknya perahu, perjalanan rumah tangga kadang terombang-ambing ombak di lautan. Ada aral melintang. Ada kesulitan datang menghadang. Semuanya adalah tantangan dan riak-riak yang berbanding lurus dengan keteguhan sikap dan komitmen membangun rumah tangga ala Rasul dan sahabatnya.
Sabar dan syukur adalah kunci meraih hikmah ketiga ini. Diriwayatkan tentang sayidina umar yang memperoleh cobaan dalam membangun rumah tangga.
Suatu hari, Seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa menuju kediaman khalifah Umar bin Khatab. Ia ingin mengadu pada khalifah, tak tahan dengan kecerewetan istrinya.
Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-marah. Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar. Tapi, tak sepatah katapun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah.Akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan istrinya pada Umar.
Apa yang membuat seorang Umar bin Khatab yang disegani kawan maupun lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel? Beliau berkata, “Wahai saudaraku, istriku adalah yang memasak masakan untukku, mencuci pakaian-pakaianku, menunaikan hajat-hajatku, menyusui anak-anakku. Jika beberapa kali ia berbuat tidak baik kepada kita, janganlah kita hanya mengingat keburukannya dan melupakan kebaikannya.”
Pasangan yang ingin membangun rumah tangga islami mesti menyertakan prinsip kesabaran dan rasa syukur dalam mempertahankan ‘perahu daratannya’.
Keempat, memotivasi semangat ibadah
Risalah Islam tegas memberikan keterangan pada umat manusia, bahwa tidaklah mereka diciptakan oleh Allah kecuali untuk bersembah sujud, beribadah kepada-Nya.
Dengan menikah, diharapkan pasangan suami-istri saling mengingatkan kesalahan dan kealpaan. Dengan menikah satu sama lain memberi nasihat untuk menunaikan hak Allah dan Rasul-Nya.
Lebih dari itu, hubungan biologis antara laki dan perempuan dalam ikatan suci pernikahan terhitung sebagai sedekah. Seperti diungkap oleh rasul dalam haditsnya, “Dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah.” “ Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.” (HR. Muslim)

Kelima, melahirkan keturunan yang baik
Hikmah menikah adalah melahirkan anak-anak yang salih, berkualitas iman dan takwanya, cerdas secara spiritual, emosional, maupun intelektual. Dengan menikah, orangtua bertanggung jawab dalam mendidik anak-anaknya sebagai generasi yang bertakwa dan beriman kepada Allah. Tanpa pendidikan yang baik tentulah tak akan mampu melahikan generasi yang baik pula.
Lima hikmah menikah di atas, adalah satu aspek dari sekian banyak aspek di balik titah menikah yang digaungkan Islam kepada umat. Saatnya, muda-mudi berpikir keras, mencari jodoh yang baik, bermusyawarah dengan Allah dan keluarga, cari dan temukan pasangan yang beriman, berperangai mulia, berkualitas secara agama, lalu menikahlah dan nikmati hikmah-hikmahnya.

D.     RUKUN-RUKUN PERNIKAHAN
1)     Ada calon mempelai pengantin pria dan wanita
2)     Ada wali pengantin perempuan
3)     Ada dua orang saksi pria dewasa
4)     Ada ijab (penyerahan wali pengantin wanita) dan ada qabul (penerimaan dari pengantin pria)
5)     Pantangan / Larangan-Larangan Dalam Pernikahan/Perkawinan
ü  Ada hubungan mahram antara calon mempelai pria dan wanita
ü  Rukun nikah tidak terpenuhi
ü  Ada yang murtad keluar dari agama islam

Rukun secara bahasa adalah bagian pojok pada suatu bangunan yaitu bagian terkuat yang menyangga bangunan agar tetap kokoh,
Dan secara istilah adalah apa-apa yang jika sesuatu perbuatan dilaksanakan tidak dengannya akan batal. contohnya seperti rukun-rukun sholat adalah rukuk dan sujud, maka jika sholat dilaksanakan tanpa rukuk atau sujud maka sholat tersebut tidak sah atau batal.
Berikut adalah rukun-rukun nikah dan penjelasannya yang mana jika satu dari rukun-rukun ini tidak terlaksana maka nikah tersebut tidak sah atau batal :

1)     Kedua mempelai yaitu calon suami dan calon istri.
2)     Akad nikah yaitu ijab dan qobul atau serah terima dan penyataan dari calon suami wali calon istri. ijab adalah pernyataan dari wali mempelai perempuan atau yang mewakilinya, contoh lafadz ijab adalah saya nikahkan kamu dengan anakku, dan qobul adalah pernyataan yang keluar dari mempelai laki-laki, contoh lafadz qobul adalah saya terima nikahnya dengan mahar sekian dan sekian.

Apakah akad harus memakai bahasa arab?
Jawabannya adalah tidak harus, dan sah nikahnya bagi seseorang yang tidak pandai bahasa arab untuk memakai bahasanya sebagai lafadz akad. dan tidak disarankan bagi orang yang tidak bisa bahasa arab untuk melafadzkan lafadz akad menggunakan bahasa arab, karena percuma saja dia melafadzkan dengan lafadz yang tidak dia pahami maknanya. maka cukup memakai bahasanya sendiri dan sah nikahnya seperti contoh lafadz diatas dengan bahasa Indonesia. sedangkan orang yang pandai bahasa arab untuk menggunakan bahasa arab sebagai lafadz akad nikah.

Bagaimana jika lafadz qobul tidak langsung diucapkan setelah lafadz ijab?
Jika seorang wali mempelai perempuan mengatakan "saya nikahkan kamu dengan anakku" kemudian mempelai laki-laki tidak langsung mengucapkan "saya terima nikahnya" dan mengucapkannya beberapa menit setelah lafadz dari wali misalnya, maka hal itu sah dan diperbolehkan dengan syarat masih dalam satu majlis atau belum berpisah.
Tidak seperti yang banyak dipraktekan dinegara kita, mempelai laki-laki harus secara langsung mengucapkan "saya terima nikahnya" setelah wali mempelai perempuan atau yang mewakilinya mengucapkan "saya nikahkan kamu/saudara dengan anakku". dan jika tidak langsung diucapkan maka nikahnya belum sah. dan ini adalah anggapan yang salah. dan yang benar adalah tidak mengapa dan sah nikahnya walau lafadz qobulnya agak diakhirkan dengan syarat masih dalam satu majlin atau belum beranjak dari majlis akad tersebut dan nikahnya sah hukumnya.

E.      MUHRIM ATAU MAHRAM
Konteks pembahasan ini adalah antara kata "muhrim" dan "mahram" dalam bahasa Indonesia yang termasuk kata serapan untuk menyatakan hubungan saudara, dan dalam fiqih berarti orang-orang yang tidak boleh/haram dinikahi, yaitu saudara-saudara dekat baik karena nasab (keturunan) atau persusuan.
Penggunakan kata untuk menyatakan saudara yang tidak boleh/haram dinikahi, apakah "muhrim" atau "mahram". manakah yang tepat?
"Muhrim" adalah kata subjek (pelaku) dari "ihram" yaitu orang yang telah mengenakan pakaian ihram untuk haji atau umrah.
"Mahram" adalah orang yang diharamkan untuk dinikahi baik karena nasab (keturunan) atau persusuan. Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- bersabda :
Artinya : "Tidaklah (boleh) seorang wanita bepergian kecuali bersama mahram."
Jadi jika ingin menyebut saudara yang haram dinikahi maka kata "mahram" lah yang tepat. sedangkan kata "muhrim" sebagaimana disebutkan diatas adalah orang yang telah melakukan ihram untuk haji atau umrah.

...Wailal-ligo'

Terima kasih atas kunjungan bro n sis ke blogku, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,