...Ahlan Wa Sahlan

Assalamu'alikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Rabu, 14 September 2016

Awal Pertemuan dengan Liya di Pantai Cemara

Duduk tersandar di sebuah kursi plastik berwarna merah di sudut teras rumah yang menghadap ke laut. Buaian angin pantai menyapu pelopak mata, seakan mengajak untuk bersenda gurau dengan kicauan burung dan suara gemuruh ombak laut Banda. Di halaman rumah sedang bermain sekolompok anak usia sekolah dasar, dengan teriak-teriakan dan candan “Oela.. Te eta amamimo”  yang di ciptakan anak-anak yang sedang bermain Kaofulu, selang beberapa menit terucap kalimat “Akomo to Nangu-nangu kae”  dari salah seorang anak bernama La Rian tak lama berselang dijawablah oleh teman-teman La Rian “Akomo.. Yey, serbu” . Entah kenapa? Hati ini tertegun ingin berlari juga mninggalkan tempat duduk saya, untuk menerima ajakan La Rian untuk ikut serta berenang. Ternyata ajakan La Rian menghantar ingatan saya menuju tahun 2001 silam, arah dimana masa saya masih menggunakan seragam putih merah. Saat itu ketika hendak mandi di laut, haruslah menanggalkan seluruh pembungkus tubuh, yang tersisa hanyalah Celana Kolor (CD).
Laut pesisir Bira Waragi kala itu tak ada ombak yang melambai, tak ada bisikan angin berkesiur kenacang, langitnya tampak biru dengan gumpalan awan putih berarak beriringan. Sinar matahari berpadu dengan air laut yang memantullkan warna kecerahan di pelopak mata. Air laut terasa hangat menyentuh kulit, keseruan saya tercipta bersama teman-teman bermain air, siram menyiram, lempar-melempar Fa (pasir halus), posu’usu , pokanan toga’a . Dan mencari bintang laut yang bertebaran di dasar laut. ternyata saya diajak berselancar ke masa saya berumur 11 tahun oleh alam khayal saya. Tak lama saya tersentak kaget dari khyalan akan masa kecil saya. Saya di kagetkan getar dan bunyi telepon genggam yang berisi pesan singkat dari teman yang namanya asing di pikiran saya “Kak qt dimana sa lagi berada di Wanci, berlibur”. Masih mengingat-ngingat siapakah Liya ini pesan singkat Liya belum saya balas sehingga Liya pun menelpon, dan saya jawab  panggilan Liya, percakapan kami pun berlangsung selama 30 menit 28 detik, saya tahu siapa Liya, ternyata Liya yang saya kenal 2 tahun lalu tepatnya tahun 2014 memalui jejaring sosial Facebook, diakhir percakapan Liya berucap ”ingat, besok sore ya Kak!” Wassalm. Mungkin dia menegaskan untuk tidak lupa akan perjanjian kami ke pantai Cemara besok sore.
25 April 2016 waktu pada jam dinding bercet kuning menunjukkan pukul 15.30 WITA, kumandang adzan menggema berbisik di telinga sebagai isyarat waktu untuk melaksanakan sholat Ashar, saya dengan pakain suci, songkok putih di kepala membungkus, berjalan keluar rumah melangkahkan kaki menuju masjid untuk melaksanakan sholat Ashar. Sepulang dari masjid saya sempatkan duduk di teras belakang rumah, memandangi laut terbentang, pulau Kapota nampak di kejauhan arah selatan kampung Bira dan nampak samar di pelopak mata pulau Buton di bagian barat. Sampai saat dimana ketukan pintu dan ucapan salam terdengar dari arah depan rumah, Tuk.. tuk.. tuk.. Assalamu’alaikum, kak Amir? Suara salam yang saya kenal. Ya, suara adik Ory anggota komunitas PGPA. Saya menjawab salam “Wa’alaikum salam, iya de”. dan bangkit dari tempat duduk bergegas menuju pintu depan rumah yang berhadapan langsung dengan teras rumah dan membuka pintu. “Kak kita ke Pantai Cemara Ayo” kata Ory. Saya pun menyiapkan kamera DSLR, telpon genggam, Headset setelah itu mengganti pakaian dengan memakai kaos Hitam bertuliskan Pande Galia Pande Aka-aka  dan celana pendek bermotif kotak-kotak. Saya juga mengajak adik laki-laki saya Amar untuk ikut ke pantai Cemara. Perjalan ke pantai Cemara segera dimulai, saya menutup dan mengunci rumah serta memastikan aman. Ternyata terlihat di halaman rumah tepatnya di pinggir jalan anggota PGPA yang lain diantaranya Taty yang masih bercermin di spion motor, Fea dan Desi yang sibuk mengutak-atik telepon genggamnya masing-masing, serta Wulan dan Ida yang berselfie.
Bira waktu itu, disamping rumah sebelah kiri tetangga saya sedang “tutu fatu kareke” , 4 orang pemuda nampak berbincang di sudut rumah sebelah samping kanan, Matahari memebrikan sinar kehangatan, angin sepoi terasa di helai-helai rambut. Saya mempersilahkan adik saya untuk mengenderai sepeda motor, hal ini saya lakuakan agar di 10 menit perjalanan saya bisa melihat pohon Kelapa yang seakan melambai menyapa, rumah-rumah warga, rerumputan ilalang. Sesaat setelah melewati lingkungan Bira Mekar, telepon genggam saya berbunyi tanda panggilan masuk bertulisakan Liya di layar baru saya ingat saya punya janji juga dengan Liya hari bertemu di pantai Cemara. Tepat di SDN Negeri Antapia saya menyuruh adik saya untuk berhenti agar saya bisa terima panggilan telepon dari Liya, dalam panggilan saya berkata kepada Liya, “Assalamu’alaikum? Segera ke pantai Cemara saya di jalan menuju pantai Cemara.” Tanpa Liya menjawab iya, panggilan di telpon genggam saya matikan dan kembali menyuruh adik saya untuk melanjutkan perjalanan kami.
Pantai Cemara yang terletak di desa Wapia-pia kecamatan Wangi-wangi, Wakatobi. Pantai Cemara berjarak  7Km dari pusat kota Wanci dan  3Km dari Bira Waragi lingkungan tempat saya tinggal. Dalam perjalanan saya melewati Kampung yaitu, Bira Mekar, Antapia, Sombu, ujung Wapia-pia dan tiga tempat wisata lain di pulau Wangi-wangi, yang diantaranya Wasabi Nua Resto dan Cafe, pantai Sombu dan Ruang Terbuka Publik Sombu Dive.
Sampai lah kami di pantai Cemara, di pantai Cemara Ory dan anggota PGPA memfungsikan kamera dari seluler mereka untuk berselfie dan berfoto, saya pun tak ketinggalan untuk mengabadikan moment dengan memotret Rona jingga mentari, hmparan pasir putih terbentang, ombak pantai Cemara bergulung-gulung, biru redupnya langit, lambaian pohon Kelapa dan siuran pohon Cemara yang berdampingan, laut jernih gemercik, lalu lalang nelayan menggunakan koli-koli (Sampan), ketinting. Speedboat melaju membelah gelombang di lautan menarik babanaboat yang ditumpangi 5 orang seumuran remaja. Sedang adik saya Amar beraktifitas dengan cara lain, yaitu bersnorkling (freedive) dan berenang sendirinya, melihat terumbu karang berwarna-warni, ikan-ikan kecil yang bergerombol dan hangatnya laut.
Mentari mulai tergelincir keperaduan, dari arah utara dibawah rindang pohon Cemara, pohon Cemara yang berjejer bersama gazibu-gazibu yang di kelola DCDC Liya bersama Erni sepupunya memakirkan kendaraan bermotor. Liya dan Erni berjalan menghampiiri saya dan menyapa saya dengan salam sahdu terdengar di telinga. Percakapan kami di mulai beriringan dengan kicaun burung Sui yang bersiul. Memandang penuh malu saya terhadap Liya, “maklum baru pertama bertemu” Saya bergumam dalam benak. Saya sempatkan mengarahkan kamera dengan membidik sang Wanita berkerudung hitam panjang selutut, seperti muslimah arab pada umummnya, wajah putih Khumairah . Satu, Dua dan Tiga Klik kamera berbunyi, memotret dengan cara diam-diam yang saya lakukan untuk mengabadikan rona kemerahan yang nampak diwajah Liya. Mentari terbenanm di berdiri berubah gelap, nampak di timur bulan menyapa, percakapan kami pun selesai di akhir kalimat terakhir yang saya ucapakan pesan kepada Liya, “In Sya Allah besok sore saya bersilaturrahim ke rumahmu ya?”. Liya tak menjawab, Liya hanya menjawab dengan salam, dia terburu-buru ke arah motor yang di parkir sepupunya lantar malam mulai menyelimuti pantai Cemara.
Ory dan adik Amar memanggilku “Ayo kita Pulang”. Amar dengan badan menggigil, “ayo kak saya sudah dingin” kata Amar. “Marimi kita pulang, biar kakak yang bawa motor”. Jawab saya. Kendaraan roda dua yang saya kendarai melaju secepat kuda yang berlari di lintasan pacuan. Beberapa kendaraan roda dua terlewat dan berbapapasan. 5 menit berlalu dalam perjalanan di jalan yang lurus, tibalah saya di rumah dan bergegas wudhu dan melaksanakan sholat maghrib. Di relung-relung hening terucap doa sahduh menusuk kalbu menghentakkan langit-langit kamar. Tangan-tangan gemetar menggigil bersatu dengan untaian tasibih cinta pada-Nya, di sela doa terbayanh di benak rona kemerahan wajah Liya, di bait-bait doa yang kuhaturkan.
Seperti pemuda lainnya, mungkin ini bunga hati yang menciptkan cinta, mungkin cinta itu akan di bangun bersama Liya, apakah Liya adalah nama yang tertulia abadi di Lauh Mahfudz bersamaku.. Malam semakin larut, angin laut menyapa dengan sejuk, mata semakin tak kuat lagi berkedip, hening malam terasa di telinga. Saya akan bercerita kembali besok ya, setelah saya bangun dengan semangat pagi dan sapaan matahari yang bersinar. Wassalam.

...Wailal-ligo'

Terima kasih atas kunjungan bro n sis ke blogku, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,